Masjid Agung Al-A'raf Rangkasbitung |
Rangkasbitung adalah
sebuah kecamatan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Indonesia. Kantor
Kecamatan Rangkasbitung terletak di Jalan Sunan Kalijaga, sekitar 1 km dari terminal kota
menuju arah Jakarta atau Bogor. Rangkasbitung juga merupakan ibu
kota dari Kabupaten Lebak.
Berbicara sejarah Rangkasbitung,
pada hari itu, 22 Januari 1857, langit Rangkasbitung dihiasi awan putih bersemu
kelabu ketika seorang Belanda yang ditugaskan sebagai Asisten Residen di
Kabupaten Lebak berpidato. Puluhan orang berbaju rapih, duduk berjajar teratur
menghadap sang Asisten Residen yang baru dilantik itu. Suasana takzim
terpancar dari roman muka hadirin, terlebih dari sinar mata Asisten Residen
yang memulai pidatonya.
”Tapi saya lihat, bahwa rakyat
tuan-tuan miskin, dan itulah yang ”menggembirakan” hati saya….
Katakan kepada saya, bukankah si petani miskin? Bukankah padi menguning
seringkali untuk memberi makan orang yang tidak menanamnya? Bukankah banyak
kekeliruan di negeri tuan?”
Demikianlah tukilan pidato Eduard
Douwes Dekker alias Multatuli alias Max Havelaar di hadapan para petinggi
Kabupaten Lebak. Pidato yang kritis itu dilakukan di serambi kantor di
Rangkasbitung, sehari setelah pengangkatannya sebagai Asisten Residen Lebak.
Pernyataan kegembiraan Douwes Dekker
mengenai banyaknya rakyat miskin di Kabupaten Lebak bermakna sebagai sindiran
halus, bagi para petinggi di Rangkasbitung. Melalui sindiran itu, dia berharap
terjadi perubahan kinerja di kalangan pemerintahan di Rangkasbitung, yang saat
itu terkenal korup.
Tingginya pajak, panen yang selalu
gagal, kesenjangan ekonomi-sosial yang lebar dan menurunnya produksi ternak,
menjadi sebuah keniscayaan yang tak terelakkan bagi penduduk Rangkasbitung, dan
Lebak pada umumnya. Korupsi besar-besaran di kalangan pejabat pemerintahan kala
itu, pun semakin menurunkan standar hidup penduduk. Situasi ini juga
dialami di hampir seluruh daerah di Banten. Sehingga, pada masa selanjutnya,
beberapa faktor pemiskinan tersebut, menjadi pemicu gerakan perlawanan terhadap
pemerintahan kolonial.
Begitulah kondisi umum Kabupaten
Lebak di zaman kolonial, yang digambarkan secara gamblang oleh Douwes Dekker
dalam novelnya ”Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda”.
Benar, Douwes Dekker tak pernah berhasil mengangkat taraf hidup penduduk Lebak
lebih baik; alih-alih, melalui sebuah konspirasi rivalnya, ia difitnah dan
berhasil dicampakkan dari jabatannya sebagai Asisten Residen. Namun demikian,
kendati dia seorang pegawai kolonial, semangatnya untuk melakukan perubahan dan
meningkatkan taraf hidup penduduk Lebak, menjadi contoh yang patut ditiru.
Rangkasbitung dan Revolusi Indonesia
Kemiskinan telah menjadi keseharian
penduduk Lebak. Dan dampaknya dari faktor itu pula, sifat radikalisme
terbangunkan. Sejak pemberontakan komunis 1926, Rangkasbitung sebagai ibukota
Lebak, menjadi kota terpenting kedua di Banten setelah Serang. Kota ini selalu
dijadikan basis pergerakan politik para tokoh revolusioner Banten.
Pada Juni 1945 misalnya, menjelang
menyerahnya Jepang, beberpa pemuda Banten yang tergabung dalam Badan Pembantu
Keluarga Peta (BPP) dan beberapa unsur pemuda lainnya, mengadakan sebuah
pertemuan rahasia di kediaman Tachril, di Rangkasbitung. Pertemuan yang
disponsori oleh BPP itu, dilakukan untuk membicarakan kemungkinan kemerdekaan
Indonesia pasca menyerahnya Jepang dan memilih wakil Banten untuk menghadiri
konferensi pemuda di Jakarta pada 9 Agustus 1945.
BPP adalah sebuah organisasi sosial
yang memberikan bantuan kepada keluarga dari prajurit-prajurit Peta dan Heiho
yang sudah meninggal. Organisasi ini menerbitkan dua kali sebulan majalahnya,
dengan nama Pradjurit. Majalah ini dipimpin oleh Oto Iskandardinata dan
Sjamsudin Sutan Makmur (Nugroho Notosusanto: 1979).
Dalam pertemuan Rangkasbitung itu,
hadir pula Tan Malaka, tokoh pergerakan yang ketika berada di Banten mengubah
namanya menjadi Ilyas Husein. Sebagian besar pemuda yang hadir dalam pertemuan,
menyatakan akan memutuskan setiap hubungan kerjasama dengan Jepang dan
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sebagian kecil lainnya berpendapat,
masih perlu menjalin kerjasama dengan Jepang untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia.
Di tengah hiruk pikuk perdebatan,
Tan Malaka mengemukakan pendapatnya, supaya perbedaan taktis itu hendaknya
diselesaikan di konferensi Jakarta saja. Kemudian Tan Malaka menambahkan, bahwa
perlu dibentuk sebuah organisasi sendiri dengan pemimpinnya sendiri yang sama
sekali tak berhubungan dengan Jepang. Akhirnya pertemuan diakhiri dengan
memilih Tan Malaka sebagai wakil Banten. Selain itu, terpilih juga enam orang
radikal lainnya, Tje Mamat adalah salah satunya.
Pertemuan Rangkasbitung tersebut
jarang disebut, dalam sejarah Indonesia, kecuali dicatat dalam laporan Tan
Malaka, yang kemudian dikutip oleh Harry A. Poeze dalam bukunya ”Pergulatan
Menuju Republik: Tan Malaka 1925-1945”. Pertemuan Rangkasbitung itu, diyakini
menjadi tonggak awal beberapa peristiwa lain yang mewarnai kondisi
politik Banten selama periode awal revolusi.
Dewan Perwakilan dan Terbunuhnya
Bupati R.T. Hardiwinangun
Hubungan tokoh-tokoh revolusioner di
Banten dengan Tan Malaka pada periode Jepang hingga masa awal kemerdekaan
Indonesia, terjalin dengan dekat. Tokoh besar yang riwayatnya diselubungi
misteri itu berhasil menanamkan pengaruh kuat dikalangan tokoh-tokoh tersebut.
Didirikannya Dewan Rakyat oleh Tje Mamat diyakini, oleh karena anjuran Tan
Malaka kepada segenap eksponen perjuangan di Banten, untuk mendirikan sebuah
organisasi yang bertujuan demi kemerdekaan rakyat semata.
Kekacauan politik dan kekosongan
pemerintahan, menyebabkan munculnya tindakan-tindakan beberapa kelompok
politik, khususnya veteran pemberontakan 1926, untuk membalaskan dendam mereka
kepada pejabat pemerintah, polisi dan orang-orang Belanda. Suasana
revolusi yang euforistik mendorong kaum ulama mengambil alih
kepemimpinan. Atas dasar itulah K.H. Achmad Chatib diangkat sebagai
residen Banten. Kendati demikian, pemerintahan yang baru itu tak dapat
segera mengendalikan keadaan. Pembunuhan tetap terjadi dimana-mana.
Di pihak lain, Tje Mamat dengan
Dewan Perwakilan Rakyatnya semakin leluasa bergerak, bahkan dalam level
tertentu mereka menjelma, menjadi penguasa Banten yang sesungguhnya. Tujuan
mereka hanyalah satu: mencapai kemerdekaan rakyat Indonesia yang hakiki.
Hubungan Dewan Rakyat dengan Pemerintahan Pusat RI di Jakarta yang renggang,
membuat gusar Presiden Soekarno. Beberapa media massa di Jakarta memberitakan
bahwa Banten, dibawah kendali Dewan Rakyat akan memisahkan diri dari Republik. Aksi
bersenjata untuk membubarkan Dewan Rakyat pun dilakukan oleh TKR, Namun
hal itu tak semudah yang diperkirakan pemerintah Jakarta. Dewan
Rakyat tetap berkuasa.
Hingga akhirnya, Presiden Soekarno
disertai Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Jaksa Agung Mr. Kasman Singodimedjo,
mengunjungi Serang dan Rangkasbitung pada tanggal 9-12 Desember 1945. Dalam
pidatonya di Rangkasbitung, Bung Karno mengatakan, bahwa kedaulatan rakyat
jangan ditafsirkan secara harfiah. Adalah penting untuk menjaga persatuan nasional
dalam bingkai Negara Republik Indonesia. Bung Hatta yang terkenal pendiam
pun turut bicara, ia mengatakan, bahwa Dewan Rakyat tak berguna dan harus
dibubarkan.
Ketika Bung Karno dan Bung Hatta
berada di Rangkasbitung, beberapa anggota Dewan Rakyat menculik dan membunuh
Bupati Lebak R.T. Hardiwinangun di daerah Cisiih. Para penculik
datang kepadanya dengan mengaku sebagai utusan Presiden Soekarno. Peristiwa
pembunuhan itu tidak lain bertujuan untuk menunjukkan kepada Presiden Soekarno,
bahwa Dewan Rakyat tidak main-main dengan tujuannya. Tetapi pada akhirnya Dewan
Rakyat dibubarkan, dan para pembunuh Bupati R.T. Hardiwinangun berhasil
ditangkap. Banten tetap menjadi bagian integral Republik Indonesia.
Setitik Rangkasbitung dalam Belanga
Sejarah Indonesia
Seluruh rangkaian peristiwa
tersebut, menunjukkan pergolakan sejarah yang pernah terjadi di Banten,
khususnya di Rangkasbitung sebagai salah satu kotaterpenting dalam
aktivitas politik di Banten. Rangkasbitung dengan segala kekurangan dan
kelebihannya memiliki posisi yang sangat penting dalam sejarah Indonesia.
Kendati hanya sebuah kota kecil, Rangkasbitung, atau Kabupaten Lebak dalam
skala yang lebih luas, merupakan memorabilia perjuangan bangsa yang sudah
selayaknya diperkenalkan ke segala penjuru Indonesia, bahkan dunia.
Oleh karena itu, penting bagi
segenap komponen masyarakat di Kabupaten Lebak untuk bersama-sama mengambil
hikmah dari sejarah dan mewarisi serta memaknai sifat radikalisme rakyat Banten
dalam bingkai transformasi yang progresif. Penggalan kisah diatas, merupakan
rekreasi ke masa lampau yang bertujuan merefleksikan kembali berbagai hal
dimasa lalu, sehingga kita bersama dapat mengambil pelajaran serta melakukan
kritik dan otokritik bagi diri kita, sebagai bagian dari sejarah Rangkasbitung.
Perumahan di Rangkassbitung ==> Klik
Perumahan di Rangkassbitung ==> Klik
Sejarah ibarat Kartu Tanda Penduduk
(KTP). Tanpa KTP kita takkan memiliki identitas, yang tentu akan sangat
merepotkan. Begitu pula sejarah, tanpa seorang individu atau sekelompok
masyarakat, bagaikan kehilangan ingatan (amnesia) dan tak memiliki jati diri. Dan
Rangkasbitung, adalah seumpama satu pilar penyanggga bangunan sejarah
Indonesia. Menghilangkan peran Rangkasbitung dalam sejarah Indonesia, sama
halnya dengan meruntuhkan bangunan sejarah itu sendiri.
Sejalan dengan semua itu,
Rangkasbitung sebagai salah sebuah kota bersejarah, menyimpan berbagai memori
penting dalam kaitannya dengan sejarah Indonesia. Sejak zaman kolonial hingga
awal kemerdekaan, Rangkasbitung terkenal sebagai salah satu pusat radikalisme
rakyat Banten. Selain beberapa peristiwa penting, juga banyak tokoh nasional
yang dilahirkan atau mengawali karirnya di kota ini.
Bagi Benjamin Mangkoedilaga
misalnya, mantan hakim agung yang terkenal karena keberaniannya memutus TEMPO
tak bersalah dalam kasus pembredelan tahun 1994, Rangkasbitung adalah sebuah
kota yang memberinya inspirasi. Dari kota ini pula ia memulai kesuksesannya
sebagai hakim. Oleh karena itu, untuk mengenang kembali pergaulannya dengan
Rangkasbitung, ia menulis sebuah buku dengan judul ”Dari Alun-alun Timur
Rangkasbitung ke Medan Merdeka Utara”.
Wajar jika W.S. Rendra menciptakan
sebuah puisi ”Doa Pemuda Rangkasbitung Rotterdam”, dan harapan ribuan warga
lainnya: semoga tak ada lagi ketimpangan sosial-ekonomi yang mendera, tak ada
lagi kemiskinan yang meililit dan tak ada lagi korupsi yang merajalela.
EmoticonEmoticon